Selasa, 08 Desember 2009

Bung Hatta...

Adalah Bung Hatta, nama itu seakan hadir kembali. Sosok proklamator negeri kita tercinta ini, selain hal istimewa lainnya, juga meninggalkan teladan tentang kesederhanaan hidup.

Betapa tertibnya hidup Bung Hatta. Menurut cerita orang-orang terdekatnya, beliau tak pernah menyisakan satu butir nasi pun ketika makan. Sendok pun tak berbunyi. Beliau juga sangat rapi dalam berpakaian dan tentu beliau memiliki pergaulan yang baik. Beliau tetap sederhana walau telah menduduki posisi nomor dua negeri ini sebagai wakil presiden. Beliau tak mau memanfaatkan fasilitas negera. Sampai-sampai beliau pernah menunda keinginannya membeli sepatu karena uang beliau tidak cukup. Konon, sampai beliau wafat sepatu itu belum juga terbeli!

Konon…

Konon…di dunia ini ada 3 jenis manusia, yaitu:

1. Mereka yang menjadikan sesuatu itu terjadi,
2. Mereka yang mengamati hal itu terjadi, dan
3. Mereka yang terheran-heran melihat hal yang terjadi.

Mayoritas manusia pada umumnya termasuk ke dalam dua kategori yang terakhir.

Sebagian memiliki “mata untuk melihat“, tetapi “tidak mampu melihat” apa yang tengah berlangsung.

Sebagian besar memiliki “telinga untuk mendengar“, tetapi “tidak memahami” apa yang tengah berlangsung.

Anda termasuk kategori yang mana?

Benar Bisa Berpikir?

Pada satu hari libur yang cerah, berjalanlah satu keluarga muda. Ayah, ibu dan satu orang anaknya yang masih kecil. Anak kecil yang masih ‘jernih’, cerdas dan polos.

Seperti kebanyakan anak kecil calon generasi penerus, biasanya masih bisa berpikir kritis, selalu mengatakan sejujurnya apa yang ada dipikirannya tanpa tendeng aling-aling.
(toh, kita yang tua yang konon disebut kritis tidak mampu berkata sebebas anak kecil, bukan?)

Sampailah perjalanan mereka ke pinggir sungai. Kotornya sungai itu. Airnya tak jernih lagi. Baunya demikian menyengat. Berbagai sampah mengambang berbaris.

Melihat keadaan sungai itu, si anak bertanya pada ibunya,
“Bu, apa ya kira-kira yang akan dipikirkan ikan-ikan tentang sungai ini?”

Dengan enteng si ibu menjawab,
“Ah kamu Nak, ikan toh tidak bisa berpikir!”

Mendengar jawaban ibunya, anak kecil itu hanya terdiam. Dalam hatinya ia bergumam, “Oh iya ya, mana ada ikan bisa berpikir. Kan hanya seekor ikan.”

Keluarga muda itu terus berjalan. Kali ini melewati sebuah pabrik. Terlihat cerobong asapnya mengepulkan asap yang hitam pekat. Satu dua burung terlihat terbang di sekitar asap hitam itu.

Dengan seksama anak kecil itu mengamati burung-burung yang sedang berterbangan. Kali ini anak kecil itu bertanya pada ayahnya,
“Pa, apa ya yang akan dipikirkan burung-burung tentang asap hitam itu?”

Dengan enteng pula si Ayah menjawab,
“Ada-ada saja kamu ini Nak, burung-burung kan tidak bisa berpikir!”

Mendengar jawaban itu, kembali anak kecil itu bergumam dalam hatinya, “Oh iya Bapak benar, burung-burung kan tidak bisa berpikir.”

Entah apa yang dipikirkan kedua orang-tua anak kecil itu, mereka mengkerutkan dahinya sejenak, saling lirik, kemudian sama-sama berucap lirih,
“Syukurlah manusia bisa berpikir!”

Aduhai, seandainya benar seperti apa yang diucapkan kedua orang-tua itu, marilah kita mulai berupaya menjernihkan kembali air sungai itu, mencerahkan kembali langit kita itu, menghijaukan kembali lingkungan kita itu, melestarikan alam kita itu…ya, seandainya kita bisa berpikir!